Oleh : Haryono K. Putra
Sinema Pinggiran kali ini mendapat tantangan terberat
dalam kurun waktu 4 tahun terakhir.
Semenjak pertama kali kami membuat video klip di awal tahun 2010, baru
beberapa hari yang lalu kami
menyelesaikan proses pembuatan video klip bersama Steven Jam. Untuk saya pribadi, menilai kesempatan ini sebagai upaya
naik kelas yang tidak gampang karena
tantangan datang untuk semua departemen, bagaimana tim produksi
mengendalikan aliran bujet yang cukup
besar dari pihak Steven Jam, serta melakukan 'deal' dengan harga terbaik meski
harus mengiyakan permintaan dari Steven Jam untuk menggarap 2 video sekaligus
dalam 1 hari, dan bagaimana tim penyutradaraan harus dibagi menjadi dua untuk mengeksekusi 2 video
klip tersebut. Lalu dari tim artistik harus menyiapkan efek hujan (yang belum
pernah mereka lakukan sebelumnya) sekaligus wardrobe dan properti yang serba biru untuk menunjang
konsep selective color. Tim kamera pun
mendapat tantangan yang tidak kalah berat, kami menggunakan kamera yang
belum pernah kami gunakan sebelumnya.
Kamera yang menuntut saya untuk menggali lebih dalam tentang fitur- fitur yang
dimiliki, kamera tersebut kondang dengan julukan RED EPIC. Kamera tersebut juga
memaksa sang editor harus paham benar dengan workflow yang sangat tidak biasa.
Bagaimana mereka harus mengolah data RAW
yang dihasilkan kamera tersebut dan pencarian perangkat editing yang nampaknya menuntut spesifikasi
tinggi (maklum, laptop tercanggih yang kami
punya pun nampak lemah menghadapi data RAW dari kamera RED EPIC).
Proses pra produksi penuh dengan keluh kesah setiap
individu dan pasang surut semangat kerap
terjadi. Beberapa kali kata - kata "mundur", "cancel",
"ga usah aja apa ya", "gue udah perjuangin ini", "gue
belum siap", dan lain lain sering terucap. Namun satu sama lain mencoba
memahami kegalauan masing-masing. Saya juga sempat ragu, bagaimana tidak,
kamera yang saya gunakan nanti bukan kamera biasa. Alhasil, saya mulai perlahan
dengan membuka website RED.COM. Berhari - hari
saya habiskan waktu duduk di depan laptop untuk membaca dan menonton
tutorial mengenai kamera tersebut. Saya
sempat merasa bahwa ini mungkin belum waktunya mengoperasikan kamera RED, namun Christiantoni (Toni) terus
memberi saya semangat agar terus
memanfaatkan kesempatan emas ini. Sembari belajar tentang kamera
tersebut, saya mulai mencari siapa
assisten kamera yang tepat untuk mendampingi saya, terlebih lagi, saya
juga membutuhkan satu orang
sinematografer lagi untuk video klip tambahan dari mereka yang berjudul
"Gak Pake Benci". Karena saya
dari awal sudah di percaya oleh Toni untuk bertanggung jawab di video klip "Suatu Saat Nanti". Akhirnya
saya tunjuk Hendrik, dan ia pun mengiyakan. Seiring berjalannya waktu, akhirnya konsep dari Toni
sudah semakin matang. Dan saya sempat
berdialog mengenai kamera RED dan bagaimana konsep visual yang ingin
dibangun dengan Gaffer saya, Fajar Ridho, (Sebelumnya kami pernah berkolaborasi
di salah satu Tugas Akhir yang berjudul
'Soemarto, dan saya puas dengan apa yang ia kerjakan disana) ia saya nilai cukup matang dalam segi
teknis dan konsep. Dan saya yakin, kali ini
ia akan memberikan yang terbaik untuk video klip ini.
.jpg)
Menjelang syuting, kendala datang bertubi - tubi. Dari
divisi kamera, saya kehilangan Hendrik yang baru saja tertimpa musibah. Namun
saya berusaha meyakinkan diri, bahwa ini semua harus diselesaikan dengan
kemampuan terbaik yang dimiliki divisi kamera. Hingga pada hari H, Toger
menggantikan posisi Hendrik untuk menjadi chief di video klip "Gak Pake
Benci".
Hari H. Kamera datang pada pukul 7.00. Lokasi pertama
di Teater Kecil, TIM. Semua berjalan dengan lancar. Prosedur yang saya pelajari
selama masa pra produksi nampaknya dapat saya aplikasikan dengan cukup baik.
Sebenarnya saya cukup kesal dengan Tian Nugroho (Buluk), selaku Director di
video klip "Gak Pake Benci", karena banyak konsep yang sebelumnya pun
belum sempat di rapatkan, tiba - tiba saja ingin ia ciptakan. Seperti tiba -
tiba saja ada penggunaan lampu untuk scene kamar dan pemakaian lokasi baru yang
sebelumnya belum pernah ia bicarakan. Namun saya tidak ingin berkeluh kesah di
hari H. Satu hal yang membuat saya resah karena monitor untuk follow focus
tidak menyala, alhasil Pak Marcio (pemilik Red Epic) datang ke lokasi untuk
memberi solusi. Untung saja talent pria bernama Butet cukup menghibur dengan
aktingnya yang kocak. Lumayan lah yaa.. Syuting selesai lumayan molor, pukul
17.00 kita pindah lokasi ke TB Simatupang. Dan itu, jam macet jalur menuju
lokasi.
Sekitar pukul 19.00 saya beserta Toger dan pengawal
alat sampai di lokasi. Fajar dan anak buahnya sudah men-set lampu sesuai dengan
apa yang didiskusikan diawal. Ya, ini yang saya suka dari gaffer muda ini, ia
selalu memiliki inisiatif secara efisien dari segi teknis untuk mencapai visual
yang ingin di bangun. Kamera mulai di set diatas porta jib untuk pengambilan
high angle. Vera mulai mengomandani anak buahnya untuk menyiapkan selang dan
Fajar melakukan koreksi seperlunya. Suasana untuk pengambilan shot pertama
begitu tegang. Bagaimana tidak, dengan type of shot lebar sesuai permintaan
Toni, efek hujan tidak berhasil menciptakan logika hujan di dalam frame.
Akhirnya kami mencoba menyesuaikan dengan keadaan yang ada dengan mengambil
keputusan semua shot dengan efek hujan harus dengan type of shot yang sempit.
.jpg)
Syuting selesai, mentari terbit dan diluar sana macet
nampak menggila. Saatnya kami pulang untuk beristirahat. Semoga hari itu adalah
momentum bagi kami semua agar terus melangkahkan kaki menembus batas, tanpa
kenal lelah, tanpa kenal kata gagal. Itulah Sinema Pinggiran, bila ada kesempatan
untuk bertaruh dengan nasib, kami selalu mengatakan "Iya". Setidaknya
hari itu Sinema Pinggiran yang terlahir di pinggiran, sempat mencium epicnya
aroma syutingan epic bersama kamera epic.
Talent pria gak pake benci BETET bukan BUTET wkwkwkwkw
BalasHapus